Selasa, 15 November 2011

Anavina FUKA BUPOLO (Kehidupan perempuan Buru antara Adat Budaya dan Ketidakadilan Gender)

Indonesia adalah sebuah negara yang demokratis, yang menjamin adanya kesamaan hak dan martabat bagi semua warga negaranya baik itu laki-laki maupun perempuan. Jaminan tersebut nyata terlihat dalam butir-butir UUD 1945, sebagai aturan yang mengatur dan menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara umum, tidak ada pemilahan soal peran dan kedudukan warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia, memiliki peran dan kedudukan yang sama dan setara berdasarkan UUD 1945. Pasal-pasal seperti pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 dengan jelas menjamin persamaan derajat dan hak warga negara baik perempuan maupun laki-laki dalam segala bidang kehidupan, baik hukum, politik, pendidikan dll.[1]
Gereja di Indonesia merupakan salah satu pranata sosial sekaligus salah satu sub sistem dari masyarakat di Indonesia. Itu artinya gereja harus ikut bertanggung jawab terhadap tatanan-tatanan dan relasi-relasi sosial yang telah terbangun dalam kehidupan masyarakat. Gereja harus turut terlibat membantu masyarakat memecahkan berbagai pergumulan dan permasalahan hidupnya.[2] Keberhasilan dari gereja sebagai sebuah pranata sosial di masyarakat hanya dapat dilihat dari tercapainya sasaran-sasaran yang mengarah kepada perbaikan hidup masyarakat. Dan hal inilah yang menjadi fungsi sosial dari gereja.[3]
Gereja sendiri merupakan tempat berhimpun dan berkumpulnya orang Kristen untuk bersekutu dan beribadah, sekaligus tempat di mana nilai-nilai budaya masyarakat bertumbuh dan dipraktekkan setiap saat. Gereja adalah sebuah persekutuan yang dibentuk oleh manusia untuk bersama-sama bertumbuh dalam iman[4].  Itu berarti, gereja tidak hanya menjadi tempat di mana manusia (orang kristen) untuk berkumpul dan beribadah kepada Tuhan, mendengar khotbah dan membaca alkitab tetapi gereja juga merupakan tempat bagi mereka untuk membangun kerjasama dan menciptakan persekutuan atau relasi-relasi sosial antara seorang individu dengan individu lainnya. Dalam kaitan itu, gereja dapat difungsikan sebagai sebuah lembaga masyarakat. Artinya bahwa dalam gereja ada berbagai peraturan dan norma yang telah dilembagakan bersama dengan nilai-nilai kebudayaan yang dipakai untuk mengatur dan menata kehidupan kelembagaan gereja itu sendiri.[5] Oleh karena itu tugas gereja adalah untuk memperhatikan setiap anggotanya baik laki-laki maupun perempuan, yang mengalami berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat, sekaligus menjadi pranata sosial yang kritis terhadap sistem kemasyarakatan yang berlaku.
Meskipun demikian, baik gereja maupun negara adalah sub sistem atau bagian dari masyarakat. Itu berarti bahwa ada nilai-nilai hidup dari masyarakat yang tumbuh dan berkembang bahkan dipraktekkan secara kuat dalam gereja dan negara. Nilai-nilai tersebut seperti perilaku, kepercayaan, relasi dan sebagainya berakar kuat di dalam budaya yang berkembang di masyarakat tersebut, termasuk di Indonesia.
Faktanya bahwa seringkali nilai-nilai budaya yang ada dan berakar kuat dalam masyarakat itu berbeda bahkan bertolak-belakang dengan nilai-nilai kehidupan yang menjadi keyakinan dalam gereja dan ideologi dalam negara. Ini karena nilai-nilai budaya tersebut mengandung diskriminasi dan ketidakadilan terhadap sebagian kelompok masyarakat atau terhadap salah satu jenis kelamin dalam masyarakat. Apalagi sebagian besar budaya yang berkembang di masyarakat adalah budaya patriarkhi yang lebih menekankan kekuasaan dan dominasi dari kaum laki-laki. Sistem dan struktur kebudayaan yang patriarkat cenderung mengunggulkan laki-laki dan menimbulkan relasi kekuasaan yang timpang dalam masyarakat.[6] Itu artinya diskirminasi dan ketidakadilan lebih banyak terjadi dan dirasakan oleh kaum perempuan bahkan juga anak-anak. Sementara itu, gereja dan negara sendiri kadangkala tidak mampu untuk menentang berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan tersebut. Mungkin karena nilai-nilai budaya patriarkhi sendiri telah kuat merembesi ke dalam tubuh gereja dan negara sebagai sub sistem dari masyarakat sendiri. Bahkan baik gereja maupun masyarakat sering juga ikut terlibat dalam berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan tersebut.
Masalah-masalah menyangkut perempuan sepertinya menjadi suatu pergumulan besar dari seluruh realitas sosial masyarakat dunia setiap saat. Problematikanya seakan-akan tidak pernah surut sepanjang bentuk-bentuk steriotipe jender dalam berbagai budaya di masyarakat masih ada dan memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan. Berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan terjadi dalam banyak bidang kehidupan mulai dari bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum, agama dan terutama adat budaya.  
Orang selalu menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan di tengah-tengah masyarakat seringkali hanya terpusat pada area domestik atau keluarga saja.  Tugas perempuan adalah untuk memasak, membersihkan rumah, merawat anak, mengasuh dll.[7] Walaupun dalam perkembangan selanjutnya banyak perempuan telah bekerja dan memiliki karir di ruang publik, mereka tetap dianggap hanya sebagai pelengkap dan penopang bagi laki-laki. Padahal peran-peran domestik yang dilekatkan erat pada perempuan di atas, merupakan peran kultural yang diciptakan oleh manusia melalui proses sejarah, peran yang sebenarnnya dapat dilakukan baik oleh kaum perempuan maupun kaum laki-laki.
Budaya patriarkhi yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, tampaknya menjadi faktor paling dominan dan sangat mempengaruhi eksistensi perempuan (peran dan kedudukan perempuan) di tengah-tengah masyarakat. Pengaruh budaya patriarkhi ini telah masuk ke semua lingkup sosial masyarakat termasuk gereja dan seringkali menimbulkan berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Standar-standar steriotipe tertentu dikenakan bagi perempuan di segala lini kehidupan, misalnya perempuan selalu diidentikkan sebagai manusia yang lemah, tidak mampu mengambil keputusan dengan baik, penyayang, dan lembut, sehingga tempat seorang perempuan adalah untuk mengurus pekerjaan-pekerjaan di keluarga saja. Gereja sendiri dengan segala usahanya kadangkala gagal untuk mengatasi berbagai persoalan ketidakadilan ini, oleh karena kuatnya pengaruh budaya dalam masyarakat.
Apa yang dialami oleh banyak perempuan di dunia dan di Indonesia ini, dialami oleh para perempuan atau Anavina di dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Anavina Fuka Bupolo secara harafiah merupakan sebutan dalam bahasa asli masyarakat di pulau Buru kepada kaum perempuannya. Anavina artinya Perempuan dan Fuka Bupolo artinya Pulau Buru, jadi Anavina Fuka Bupolo berarti Perempuan Pulau Buru.
Di pulau Buru secara umum baik di Buru utara maupun Buru selatan, sebagian besar gerak dan interaksi sosial yang berlaku di dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh budaya lokal yang diturunkan secara turun temurun, dari zaman dulu hingga saat ini. Pengaruh budaya ini ada dalam berbagai bidang hidup masyarakat mulai dari bidang politik dan hukum di pemerintahan, agama dan kepercayaan dalam gereja, pendidikan di sekolah, hingga di rumah tangga dalam berbagai budaya perkawinan, pembagian kerja antara suami istri dan berbagai keputusan lainnya di keluarga. Budaya Buru menjadi simbol hidup yang sakral dan yang mengatur serta menata hidup seluruh masyarakat di pulau Buru baik itu laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua sampai anak-anak. Dapat dikatakan bahwa seluruh orang Buru tidak dapat hidup terpisah dari nilai-nilai budaya Buru yang telah membentuk jati diri mereka sebagai seorang manusia.
Pada kenyataannya meskipun budaya yang dipegang teguh dalam masyarakat di Pulau Buru itu terus lestari setiap saat, menjadi simbol kehidupan yang mengatur dan mengikat kehidupan seluruh orang Buru, tetapi ada berbagai fenomena ketidakadilan yang muncul didalamnya. Di Buru (baik Buru utara maupun Buru selatan), anak perempuan tidak sepenuhnya mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya. Pengambilan keputusan-keputusan penting mengenai kehidupan dan diri perempuan, tidak dilakukan oleh mereka sendiri. Semua ditentukan oleh orang tua, sanak saudara dan kerabatnya yang laki-laki dan bahkan juga oleh laki-laki yang kelak menjadi suaminya dan keluarganya. Sebagian besar kaum perempuan dalam masyarakat dan gereja di Buru selatan juga turut merasakan ketidakadilan seperti ini. Dalam berbagai hal mereka mengalami perlakuan yang tidak adil dan berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada kaum laki-laki.
Beberapa fakta yang menunjukkan hal ini antara lain sebagai berikut:
1)        Dalam keluarga, perempuan di pulau Buru dapat dikatakan tidak memiliki hak secara penuh untuk menentukan hidup dan masa depan mereka sendiri. Perempuan terbatasi dengan budaya buru yang secara kuat telah mengatur kedudukan perempuan dengan segala perannya di dalam keluarga dan masyarakat setiap saat. Hal ini jelas tergambar dalam bentuk-bentuk adat perkawinan yang ada dalam masyarakat. Bentuk-bentuk perkawinan seperti kawin minang atau maso minta[8] dan kawin panjar[9] atau piara, dari segi budaya asli buru dianggap memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada kaum perempuan. Hal ini tergambar jelas dengan banyaknya mas kawin (harta kawin) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan. Orang buru mengganggap bahwa perempuan sangat berharga dan bernilai tinggi dalam sebuah keluarga sehingga setiap laki-laki yang ingin mengawini anak perempuan mereka harus membayarkan harta yang sangat besar sesuai dengan permintaan dari pihak perempuan. Dari sisi budaya hal ini akan terlihat sangat baik tetapi dari sisi lain seperti gender akan terlihat adanya diskriminasi dan ketidakadilan, bahwa anak perempuan justru dijadikan sebagai penambah kekayaan keluarga saja.
Sistem kawin panjar yang ada dalam masyarakat mengaharuskan pihak laki-laki membayar harta kepada pihak perempuan (mencukupi semua kebutuhan hidup anak perempuan) mulai dari sang anak masih berada di dalam kandungan hingga ia diambil ke dalam pihak laki-laki. Jadi sejak dari dalam kandungan anak perempuan dapat dikatakan telah dijual oleh keluarganya kepada pihak laki-laki. Demikian juga seorang wanita dalam golongan umur berapa saja dapat dinikahkan dengan laki-laki manapun, asalkan laki-laki tersebut sanggup memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan oleh orang tua (ayah dan kerabat laki-laki). Begitu rendahnya penghormatan akan harkat dan martabatnya sebagai manusia sehingga perempuan Buru bahkan dapat ditukarkan (diberikan) pada lelaki lain dalam satu keluarga jika suaminya telah meninggal.
Selain itu, ada juga sistem poligami yang dianut dalam adat perkawinan asli orang Buru yang mengijinkan laki-laki mengawini lebih dari satu perempuan. Syaratnya asalkan sang laki-laki sanggup membayarkan harta kawin kepada pihak perempuan dan sanggup memenuhi kebutuhan biologis dari istri-istrinya tersebut, ia dapat mengawini lebih dari satu perempuan sebagai istri. Dalam budaya asli orang Buru, sistem poligami ini menunjukkan adanya kekuasaan, kekuatan (termasuk seks/kepuasan biologis) dan kekayaan yang besar dari laki-laki Buru, namun dari segi gender memperlihatkan sebuah diskriminasi. Perempuan dibatasi untuk mengembangkan kehidupannya ketika ia dipaksakan untuk masuk dalam sistem perkawinan seperti ini.
Bentuk ketidakadilan yang lain terlihat dalam sistem pembagian kerja yang ada dalam masyarakat Buru. Dalam tradisi masyarakat asli (indigenous people) Buru, suami atau laki-laki memiliki tugas untuk bekerja di luar rumah atau di ranah publik (di ladang atau kebun), mempersiapkan lahan (tanah) untuk dijadikan ladang atau kebun, berburu di hutan-hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga setiap hari. Laki-laki Buru akan sangat sulit untuk membantu pekerjaan di dalam rumah tangga seperti memasak dan mengurus anak. Semua tugas dan tanggung jawab domestik dalam rumah tangga seperti itu termasuk juga mencuci, membersihkan rumah bahkan mengolah lahan (menanam dan menawat kebun) harus dilakukan oleh perempuan (istri). Ketimpangan ini akan terlihat sangat jelas ketika suami dan istri sama-sama pulang dari kebun. Sang suami yang berjalan di depan hanya memikul tumbak, membawakan cadut[10] dengan selempangan parang di pinggang sambil menghisap tabaku. Sementara itu, perempuan yang berjalan dibelakang akan memikul beban yang sangat berat, ia harus keku tolfafak[11], rege fodo[12] yang berisi penuh barang bawaan atau hasil kebun, sambil menggendong anak. tetap saja tugas dalam rumah tangga menjadi tanggung jawab utama bagi mereka. Sementara itu, suami tidak melibatkan dirinya untuk membantu pekerjaan rumah tangga istrinya tersebut. Dalam budaya Buru, sistem pembagian kerja (khususnya bawaan hasil kebuh ke rumah) ini adalah peran yang adil. Laki-laki membawa hanya tombak dan parang serta harus berada di depan perempuan, dengan tujuan agar ia bebas untuk bergerak memberikan perlindungan kepada perempuan dari bahaya, entah itu perang dengan suku lain, dari binatang buas dan lain-lain. Dengan begitu maka sudah sepantasnya perempuan membawakan semua hasil kebun dan anak. Dari segi gender tentu saja ada diskriminasi, oleh karena perempuan dipaksakan membawa beban (barang bawaan) lebih dari kekuataannya ( perempuan akan terlihat seperti budak dalam keluarga).
2)        Dalam masyarakat, terutama dalam bidang pemerintahan. Umumnya dalam budaya orang Buru, yang menduduki posisi-posisi penting seperti kepala desa, kepala adat, badan adat (tokoh-tokoh adat) dan sebagainya adalah kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki akses untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut dan hanya menjadi pembantu bagi kaum laki-laki. Perempuan juga tidak memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di dalam masyarakat sebab semuanya ditentukan oleh kaum laki-laki. Perempuan memang dilibatkan dalam berbagai rapat atau pertemuan negeri (desa) tetapi mereka tidak diijinkan mengeluarkan pendapatnya. Tradisi dan budaya dalam masyarakat asli di pulau Buru yang tidak menghendaki kebebasan bagi perempuan, menjadi sebuah belenggu yang menyebabkan mereka tertinggal jauh dari kaum perempuan di daerah lain. Hal ini telah terjadi turun temurun dari zaman dulu bahkan masih ada hingga saat ini.
Memang saat ini kaum perempuan sudah dilibatkan dalam pengambilan keputusan di keluarga, masyarakat dan gereja, tetapi jumlah mereka masih kecil dan sedikit dibandingkan kaum laki-laki. Selain itu, hal ini hanya terjadi di kampung-kampung yang sudah terkena arus globalisasi, di pusat klasis atau kabupaten dan di daerah-daerah pesisir pantai, sementara di kampung-kampung yang jauh dari pusat klasis atau kabupaten dan di pegunungan yang jauh di pedalaman Buru, perempuan bahkan mungkin belum dilibatkan sama sekali dalam proses-proses pengambilan keputusan di masyarakat. Dari sisi gender, ada diskriminasi terhadap peran perempuan khususnya membatasi perempuan dengan sejumlah potensi yang mereka miliki untuk mengembangkan diri menjadi perempuan-perempuan yang lebih maju.
Bentuk lain diskriminasi di masyarakat adalah dalam dunia pendidikan. Perempuan dalam budaya asli Buru diatur untuk tidak bersekolah dan mendapatkan pendidikan. Perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk bersekolah, mendapatkan pendidikan, memiliki pengetahuan, ketrampilan dan keahlian yang penting untuk membangun kualitas dirinya. Hal ini berkaitan erat dengan harta kawin yang melekat dalam diri perempuan Buru. kebanyakan orang buru (orang tua) takut anak yang perempuan ketika keluar bersekolah akan kawin dengan orang lain di luar pulau Buru. Hal ini akan mengakibatkan mereka kehilangan harta kawin pada diri sang anak, belum lagi jika anak tersebut sudah dipanjar maka mereka harus menggantikan harta panjar tersebut 2x lipat banyaknya. Orang-orang tua di Buru sering mengatakan kepada anak perempuannya bahwa “kamu (perempuan Buru) tidak usah sekolah karena suami kamu sudah ada.” Sehari-hari mereka hanya boleh bermain dan bekerja di ladang tanpa sekolah. Meskipun pada saat ini, sudah ada anak-anak perempuan yang disekolahkan, tapi masih ada juga desa-desa tertentu (terutama di daerah pegunungan) yang melarang anak-anak perempuannya untuk bersekolah. Kalau bersekolah pasti tingkat pendidikan mereka lebih rendah dibandingkan tingkat pendidikan anak laki-laki. Ada juga anak perempuan yang belum menyelesaikan sekolah, masih di kelas 5 atau 6 SD sudah diberhentikan sekolah dan dipaksa kawin (telah terikat dalam sistem kawin panjar). Semua ini tentu saja membuat kaum perempuan Buru tertinggal jauh dari kaum laki-laki Buru. Itu berarti pula ada diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Buru.
3)        Dalam gereja, ketidakadilan terlihat dari berbagai jabatan pelayanan. Memang ketidakadilan yang terjadi di dalam gereja di Buru tidak sebesar yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau keluarga. Selain itu, biasanya lebih banyak terjadi pada jemaat-jemaat yang berada di daerah pegunungan, yang secara geografis jauh dari pusat klasis, yang SDM perempuannya masih sangat rendah sekali dan akses informasi terbatas. Berbagai jabatan pelayanan seperti majelis jemaat, kordinator unit, guru sekolah minggu (pengasuh), kostor (tuagama) lebih banyak dipegang oleh kaum laki-laki. Bahkan di beberapa jemaat tertentu, perempuan sama sekali tidak memegang jabatan-jabatan tersebut. Penyebabnya selain karena tingkat pendidikan yang terbatas dan tidak sama antara perempuan dan laki-laki, budaya patriarkhi yang mengakar kuat dalam masyarakat Buru yang juga ada dalam gereja di Buru menjadi penghalang bagi perempuan untuk bebas berperan di gereja. Selain itu juga, beberapa ajaran gereja (ayat Alkitab) seringkali dipakai oleh kaum laki-laki untuk membatasi peran perempuan di dalam gereja. Walaupun gereja telah berupaya keras mengatasi berbagai ketidakadilan ini dengan memberikan akses yang besar yang sama dengan laki-laki untuk berperan dan memiliki kedudukan di dalam gereja, namun ketidakadilan masih tetap ada. Biarpun itu dalam bentuk yang kecil dan sedikit serta hanya di daerah-daerah tertentu saja (pegunungan, jemaat-jemaat PI dll), tetap saja ketidakadilan itu ada dalam tubuh gereja.
kebanyakan
Beberapa kenyataan ini menggambarkan bahwa sesungguhnya kaum perempuan di pulau Buru khususnya daerah Buru selatan, tidak memiliki peran dan kedudukan yang seimbang dengan laki-laki. Perempua Buru bahkan tidak memiliki eksistensi sebagai pribadi dan manusia sosial. Mereka ada dan hidup, bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk keluarganya, untuk masyarakatnya yang didominasi oleh kaum laki-laki. Keberadaan mereka adalah untuk melakukan kehendak laki-laki sepenuhnya. Pada akhirnya, seringkali argumen kultural digunakan untuk menegaskan kekerasan terhadap perempuan. Dengan mengatasnamakan budaya dan adat istiadat, kaum perempuan Buru didomestifikasi, dimarjinalisasikan, didiskriminasi, mengalami kekerasan, tidak ditingkatkan pendidikannya, diatur dalam bertindak, berpakaian bahkan hak-hak reproduksi ditentukan bukan oleh dirinya sendiri.
Semua hal itu menunjukkan sedikitnya tiga hal dalam kehidupan masyarakat Buru yakni pertama, adanya budaya (budaya asli Buru) yang melegitimisai berbagai bentuk perlakuan dan tindakan yang bias gender sehingga memungkinkan terjadinya berbagai ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan Buru. Kedua, adanya struktur sosial (dalam masyarakat, gereja dan keluarga) yang kuat menekan kaum perempuan Buru sehingga peran mereka terbatasi dan dikecilkan pada bidang-bidang tertentu saja, umumnya adalah di dalam rumah tangga. Ketiga, ketidakberdayaan perempuan ini (karena pengaruh adat budaya dan keterbatasan potensi diri dan rendahnya tingkat pendidikan), mengakibatkan mereka cenderung bertahan dalam situasi dan kondisi tersebut, mereka tak mampu memperjuangkan diri menjadi seperti laki-laki, dan hanya menerima berbagai hal dalam hidup mereka (adil maupun tidak adil) sebagai satu-satunya realitas sosial yang mesti mereka alami dan jalani setiap saat.
Inilah fakta-fakta yang membuat saya tertarik untuk meneliti dan menulis tentang kehidupan perempuan pulau Buru khususnya kaum perempuan di dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan, terutama dengan melihat tentang peran dan kedudukan mereka di tengah-tengah lingkungan keluarga, gereja dan masyarakatnya.


[1] Wahid Khudori., UUD’45 Republik Indonesia beserta Amandemennya (Jakarta: Mahirsindo Utama, 2009), 3-46
[2] J.D.Engel., Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1
[3] Ibid., 2
[4] Chr de Jonge & Jan.S Aritonang, Apa dan bagaimana gereja? : Pengantar sejarah eklesiologi (Jakarta : BPK Gunung Mulia) 5
[5] Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta : Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1992), 124
[6] Mianto N Agung dkk (Ed)., Perjuangan Perempuan Indonesia : Belajar dari Sejarah (Salatiga: Yayasan Bina Dharma, 2007), 91
[7] Sugihastuti dan Itsna Hadi Sptiawan., Gender dan Inferioritas Perempuan (Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2010), 56-57
[8] Kawin minang atau kawin maso minta adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan cara keluarga laki-laki secara baik-baik datang ke rumah keluarga perempuan untuk meminang anak perempuan menjadi istri anak laki-laki mereka. Proses seperti ini dapat dilakuakn dengan turut serta membawakan harta kawin yang telah disepakati ataupun tidak (harta kawin dibahas saat acara perkawinan).
[9] Kawin panjar atau kawin piara adalah proses perkawinan yang tidak dilakukan secara langsung seperti layaknya perkawinan modern saat ini. Kawin panjar didahului dengan proses pemberian harta kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sejak perempuan tersebut masih berada di dalam kandungan hingga sang perempuan lahir dan bertumbuh serta dirasakan telah pantas untuk diambil ke keluarga laki-laki. proses pemberian harta ini biasanya disesuaikan dengan permintaan keluarga perempuan. Jadi apapun yang diminta oleh keluarga perempuan untuk dipanjarkan keluarga laki-laki harus dipenuhi.
[10] Cadut adalah tas tempat orang Buru menaruh sirih pinang. Dulunya dibuat dari kulit-kulit pohon, namun sekarang juga sudah memakai tas-tas poduksi pabrik.
[11] Keku Tolfafak adalah memikul barang bawaan di kepala. Tolfafak sendiri adalah tempat menaruh hasil kebun, bisa berupa bakul, keranjang, loyang atau wadah lainnya namun hanya ditaruh/dibawakan di atas kepala.
[12] Rege Fodo adalah memikul barang di bagian belakang (punggung/tulang belakang). Modelnya seperti memikul tas, hanya saja tali pikulannya berada bukan di kedua lengan tetapi di bagian kepala (dahi). Fodo sendiri adalah bakul besar tempat ditaruhnya hasil-hasil kebun, dengan pegangan pada kain yang diikatkan di kepala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar